UNDERGROUND VS IDEALISME
Kata “underground” pada periode tahun 1990-2004 sempat popular, dan
jadi basis sayap kiri bagi kalangan musisi independen. Di Bandung basis
kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan sebagai bawah
tanah, dengan arti khusus kebebasan buat berkarya.
Kami menyebut underground sebagai spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak ada yang istilah paling hebat. Jadi, semua bersaing. Semua memiliki kubu dan massa masing-masing. Beda dengan di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi pimpinan underground – Salah satu penyiar Radio MGT FM Bandung -Karena kata underground sering diartikan salah, maka bagi sebagian musisi dan masyarakat awam, kata underground diartikan sebagai band-band pembawa lagu-lagu keras. Banyak band-band yang sekarang bernaung di major label, background aslinya adalah band indie juga. Untuk sebagian band indie tidak masalah bertransformasi menjadi sebuah band berstatus major label dan khawatir kehilangan penggemar fanatik mereka ketika mereka masih berstatus band indie, pencapaian sebuah band indie yang bertransformasi menjadi major label adalah lebih merupakan sebuah titik kesuksesan dalam karir musik mereka, karena apabila berbicara major label, maka secara tidak langsung akan berbicara mengenai “rezeki”, dimana sebuah band yang berstatus major label mempunyai kesempatan dan peluang yang lebih untuk dikenal dan “menjual” musik mereka kepada khalayak umum, tapi ini bukan berarti indie label tidak menjanjikan sebuah masa depan yang bagus.
Aliran musik dalam “underground” bisa sangat beragam, load voice, midlle voice sampai musik yang “kalem” pun dapat dikatakan sebagai underground, yang penting adalah semangat dalam menyuarakan idealisme musik mereka yang tidak boleh dilupakan. Karena idealisme musik ini lah yang akan memberikan warna-warna tersendiri bagi band-band indie tersebut.
Kita dapat ambil contoh, ketika kita mendengarkan beberapa buah lagu yang terdengar mempunyai aliran yang sama seperti : you know you are right oleh Nirvana, enter sandman oleh metallica dan freak on the leash oleh Korn. Dasarnya kita tahu bahwa ke tiga lagu tersebut sama-sama terdengar load voice, sama-sama dimainkan dengan peralatan musik yang tidak jauh beda jenisnya, tapi kalau kita amati lebih dalam pasti ada banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya, apalagi kalau bukan idealisme dari masing-masing musik yang mereka bawakan. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan undergound, klo selalu di deskripsikan dengan musik yang keras, tentunya itu salah besar.
Tidak dapat dipungkiri memang kata “underground” lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang biasa disebut major label. Bahkan ada pendapat agak seperti berikut;
Kalau band indie masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagiBerbicara mengenai idealisme, sebagian besar band-band indie mengusungnya baik dalam karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
Berbagai macam jenis idealisme yang di usung band-band indie tersebut, diantaranya adalah : Idealis terhadap isu anti kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya TuhanBanyak band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya “alergi” sama major label, dan tak mau menawarkan lagu-lagu karyanya. Padahal banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label, seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head.
Kemudian dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang beragam seperti : industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya
UNDERGROUND VS INDIE
Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah indie atau underground di Indonesia. Sebagian orang memandang istilah underground semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang sell-out, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih elastis dan misalnya, lebih cocok bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks “underground” itu tadi. Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial.
BANDUNG IS THE CITY OF “UNDERGROUND”
Salah satu kota di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai home base atau “rumah-nya” para musisi-musisi underground atau indie di tanah air berasal dan bermula adalah kota Bandung. Menarik untuk dicermati bahwa kata “underground” di kota Bandung sudah sangat “kental” artinya dengan musik-musik keras atau heavy metal.
Bahkan tingginya apresiasi masyarakat lokal dalam mengartikan musik underground sebagai musik-musik beraliran keras membuat kota Bandung masuk jajaran lima besar komunitas underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris dan Belanda.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan orang luar negeri tentang subkultur di Bandung, ternyata Bandung memiliki animo yang cukup besar terhadap musik underground, hingga menempati posisi ke lima komunitas terbesar underground di dunia. (Reggi Kayong Munggaran – pengamat musik underground)Reggi kemudian menjelaskan bahwa, besarnya animo masyarakat, anak muda khususnya, terhadap musik underground merupakan kecenderungan yang aneh. Begitupun menurut negara-negara lain penganut subkultur yang sama. Musik underground sendiri, lanjut reggi, merupakan budaya cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan dirisendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik underground memiliki etos kerja ”Do it Your Self”.
Karena musik underground merupakan musik subkultur BUKAN musik mainstream, dimana tidak semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri.
Grup underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri. Kalau musik seperti ini siapa yang mau mendengar, studio mana yang mau membuat rekaman. Kecuali oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap musik underground.Reggi mengatakan, dari sekian banyaknya grup musik underground di kota Bandung, sudah banyak yang melebarkan sayap ke luar negeri, seperti Eropa. Hal itu bisa terjadi ketika ada orang asing yang tertarik melihat subkultur di kota Bandung, sehingga mereka pun melakukan penggalangan dana untuk membawa musik underground Bandung bermain di dunia internasional. Menyinggung mengenai pandangan masyarakat tentang musik underground yang seringkali diidentikkan dengan kekerasan Reggi menuturkan, para pelaku musik underground pasrah tapi tidak cenderung apatis. Untuk mencairkan opini masyarakat, mereka seringkali mengadakan kampanye anti kekerasan.
(Reggi Kayong Munggaran – pengamat musik underground)
Namun, apresiasi tersebut sekejap seakan-akan “tenggelam” seketika akibat tragedi berdarah yang memakan 10 korban jiwa yang terjadi pada salah satu konser band underground di kota Bandung yang bernama Beside. Beside merupakan satu dari sekitar 200 grup musik underground yang ada di kota Bandung.
Meski konser launching album grup band underground, Beside, memakan 10 korban. Konser tersebut pada kenyataannya berlangsung lancar, tanpa dibumbui perkelahian pada awalnya.
Ketika show sudah berjalan selama setengah jam pertunjukan berjalan lancar, sama sekali tidak ada perkelahian ataupun perusakan seperti yang diberitakan oleh media. (Daby – drummer Beside)Daby menjelaskan, ketika pertunjukan usai, penonton yang ada di dalam bergerak menuju keluar. Sementara pengunjung yang ada di luar berpikir bahwa pertunjukan masih berlangsung. Sehingga akhirnya kedua arus pengunjung itu bertemu dan berdesakan di satu titik yang menyebabkan tewasnya 10 orang. Sepengetahuan Daby, menurut pengelola AACC kapasitas maksimal AACC adalah seribu orang. Maka pihak panitia hanya membuat 800 ratus tiket termasuk undangan untuk mengantisipasi terjadinya ledakan pengunjung.
AACC merupakan tempat yang paling memadai, setelah tidak diperbolehkannya lapangan Saparua digunakan petunjukan musik underground. (Daby – drummer Beside)Tidak bermaksud untuk mendiskreditkan band Beside terkait tragedi yang terjadi pada konser mereka, terlebih musik underground di kota Bandung, namun pada realitanya kata “underground” masih diidentikan sebagai musik yang cenderung keras dengan diwarnai oleh adanya aksi moshing oleh para penggemar musik underground di setiap konser musik underground diadakan.
UNDERGROUND AND MOSHING
Moshing memang identik dengan musik-musik cadas atau keras seperti musik underground salah satunya. Mereka para penikmat musik cadas atau musik-musik underground mengekspresikan musik tersebut dengan sebuah tarian reflek seperti body slamming, headbanging, dan crowdsurfing yang dilancarkan secara agresif. Salah satu alasan yang dapat diterima atas adanya aksi mosing tersebut mungkin karena musik underground memang musik yang memiliki adrenalin tinggi.
Sejatinya Moshing adalah tarian khas untuk menikmati genre musik yang agresif, seperti hardcore punk, heavy metal, dan termasuk juga underground. Pada tahun 2000an, macam moshing makin banyak, seperti Thrashing, atau lebih yang ekstrem Wall Of Death, dan biasanya dilakukan di area depan panggung yang disebut sebagai moshpit atau simply pit. Dalam Wall Of Death, peserta diarahkan menjauh dari pusat kawasan berdiri atau bisa dikatakan membelah menjadi dua area oleh anggota band, kemudian setelah band memainkan awal lagu berikutnya, kedua belah pihak tegak lurus ke tahap sprint satu sama lain dan bertabrakan di tengah.
Berikut adalah macam-macam jenis moshing :
- POGO DANCE
Pogo merupakan gerakan melompat ke atas dan ke bawah, sambil tetap di lokasi yang sama. Pogo dance sering dilakukan oleh pemain dan penonton pada pertunjukan punk rock. Pogo Mob adalah sebuta untuk sekelompok orang yang melakukan pogo dance pada gigs punk. Ini adalah cikal bakal dari “mosh pit”.
- STAGEDIVING
Stage diving adalah melompat dari panggung ke kerumunan crowd. Jika crowd padat biasanya orang yang melakukan stage diving akan tertahan oleh orang yang dibawahnya dan malakukan CROWD SURFING (bergerak diatas dari orang ke orang). Walaupun terlihat konfrontatif dan Ekstrim, stage diving sering dilakukan di setiap acara hardcore punk.
- HEADBANGING
Gerakan menghentakkan kepala keatas dan kebawah yang mengikuti tempo dan ritme musik. Biasanya headbanging dilakukan pada musik rock dan heavy metal.
- SKANKINGDANCE
Skanking terdiri dari gerakan kaki mengikuti irama musik dengan posisi badan membungkuk sambil mengayunkan siku kiri dan kanan. Skanking sering dipraktekkan dalam musik ska, ska punk, hardcore punk, reggae, grime, dub, dubstep dan musik lainnya.
- CIRCLEPIT
Crowd yang bergerak berlarian membentuk lingkaran biasanya berlawanan arah jarum jam. Dapat juga dilakukan dengan gerakan Skank dance. Circle pit dimulai oleh beberapa orang sebagai tanggapan terhadap kecepatan musik dan irama. Gerakan ini konon di ambil dari semangat ritual suku indian dikala memanggil hujan.
- HEADWALK/STEPAHEAD
Berlari dari panggung lalu melompat dan mencari pijakan untuk melangkah dari kepala satu ke kepala berikutnya.
- WALLOFDEATH
Sebelum musik dimulai crowd terbagi menjadi 2 bagian, yaitu kanan dan kiri dengan batas jarak beberapa meter yang dikosongkan. Dan begitu musik mulai dimainkan, crowd yang terpisah akan langsung berlari dengan kecepatan yang tinggi ke tengah-tengah dan saling menyatu dengan crowd yang lainnya. Gerakan ini di artikan tentang simulasi bentrok antara demonstran dan aparat keamanan yang saling menyerang di tengah aksi demonstrasi.
- HARDCORE DANCE:
- 2-Step
Yaitu gerakan menggerakan kaki kebelakang-kedepan secara menyilang dan mengayunkan tangan seirama dengan musik, seperti skanking dance. - BACKWARD KICKS / SPIN KICKS
Gerakan menendang sambil berputar gerakan ini pun di kenal juga dengan sebutan KUNGFU DANCE. - PICKING UP CHANGE
membungkukan badan dan gerakan tangan seperti mencabut rumput. - PUNCHING THE MIDGET
Membungkukan badan seperti picking up change, namun gerakan tangannya seperti memukul kebawah secara bergantian - WINDMILL
Mengayunkan kedua tangan secara bergantian kearah belakang. - AIR PUNCHS dan POINTING FINGER
Mengepalkan tangan keatas seperti memukul dan menunjuk biasanya pada saat sing a long.
- 2-Step
BANDUNG IS BECOMING THE CITY OF “SILENT UNDERGROUND”
Tidak dapat dipungkiri memang, musik underground dan aksi moshing di dalamnya identik dengan kekerasan dan kebrutalan, tapi tidak dapat dipungkiri juga bahwasannya hal tersebut merupakan sebuah seni dalam ber-ekspresi. Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan dirinya, termasuk memilih musik apa yang akan dimainkan dan didengar.
Tingginya apresiasi masyarakat Bandung dalam mengartikan musik underground sebagai musik-musik beraliran keras membuat kota Bandung masuk jajaran lima besar komunitas underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris dan Belanda. Namun hal itu tampaknya kini hanya tinggal sebuah penggalan sejarah di masa lalu.
Musik underground berkabung di kota Bandung pasca insiden yang merenggut 10 nyawa dalam salah satu konser band underground pada tahun 2008 yang lalu. Bandung is the city of underground, sontak berubah menjadi Bandung is the city of “silent underground”.
Tidak mudahnya mendapatkan izin menggelar konser musik underground bagi para musisi-musisi underground dari pemerintah kota Bandung pasca tragedi tersebut dalam perkembangannya membuat musik underground di kota Bandung seakan-akan benar-benar mati. Jarang terdengar lagi teriakan-teriakan dari sudut-sudut kota yang berisikan sejuta pesan tentang kehidupan dan kritik sosial, jarang terdengar lagi tarian-tarian moshing yang dapat mengeksperisikan kebebasan dalam berseni dan mengungkapkan apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Sebuah gelaran konser tunggal oleh salah satu band rock besar yang mengawali karir musiknya melalui dunia musik underground di kota Bandung, KOIL, pada 24 Februari 2011 di Sabuga ITB Bandung tahun lalu, diharapkan dapat menjadi pemicu bangkitnya band-band underground lainnya yang sudah lama “bungkam” akibat kondisi dan situasi yang memaksa mereka untuk berteriak dalam kesunyian.
Semoga suatu saat musik underground di kota Bandung dapat benar-benar kembali bangkit dan berteriak kembali.
Musik Underground adalah ekspresi dari sebuah seni, seni adalah sebuah penemuan dari proses pencarian jati diri, apabila suatu seni tidak dapat di ekspresikan lagi, entah kemana jati diri akan dapat ditemui. – anonymous -
0 komentar:
Posting Komentar